Tuesday, November 28, 2017

3 KONDISI SEORANG MUKMIN YANG BERTAQWA

3 KONDISI SEORANG MUKMIN YANG BERTAQWA
Intisari Khotbah Jum’at, Masjid At Taubah Jakasampurna, Bekasi Barat pada tanggal 17 November 2017 - Ada tiga kondisi yang harus dilakoni seorang mukmin agar dia tergolong orang yang bertaqwa dan berada dalam ridho Allah.
#1. Mukmin yang bertaqwa senantiasa bersyukur atas apapun yang terjadi padanya
-      Memahami dan meyakini bahwa semua nikmat dan karunia datang dari Allah semata.
-      Mengucap syukur atas semua nikmat, karunia dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya.
-      Menggunakan dan memanfaatkan semua nikmat dan karunia Allah untuk kebaikan di jalan Allah
#2. Mukmin yang bertaqwa senantiasa bersabar, dalam menghadapi musibah atau cobaan
-      Menahan hati. Tidak terprovokasi oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan, rasa dengki, iri, dendam
-      Menahan lisan. Tidak terpancing untuk mengucap kata-kata kotor, kata-kata yang menyebabkan sakit hati orang lain, atau berbohong.
-      Menahan diri dari perbuatan menyakiti fisik atau melakukan kekerasan terhadap orang lain; memukul, mencelakai
#3. Mukmin yang bertaqwa senantiasa beristighfar memohon ampunan Allah

-      Dengan banyak beristighfar. Memohon ampunan untuk dosa-dosa yang diperbuat, yang disadari atau tidak, yang besar maupun kecil, yang masih kita ingat maupun yang kita lupa. Rasulullah saw, sedikitnya beristighfar minimal 70 kali per hari, dalam setiap shalat maupun dzikir beliau.   

Friday, November 24, 2017

8 MACAM AZAB KAUM WANITA DI NERAKA SERTA SEBABNYA

8 MACAM AZAB KAUM WANITA DI NERAKA SERTA SEBABNYA
Saudara dan saudari kaum Muslimin dan Muslimat, renungan khususnya untuk para wanita (HAWA).
Sayidina Ali r.a menceritakan suatu ketika melihat Rasulullah SAW menangis manakala ia datang bersama Fatimah. Lalu keduanya bertanya mengapa Rasulullah SAW, mengapa beliau menangis.
Beliau menjawab, "Pada malam aku di isra'kan, aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena, menyaksikan mereka yang sangat berat dan mengerikan siksanya.
Putri Rasulullah SAW kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya.
Rasulullah SAW menjawab, seperti ini:
1. Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya. Otaknya mendidih.
2. Aku lihat perempuan digantung lidahnya. Tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya.
3. Aku lihat perempuan tergantung kedua kakinya dengan terikat tangannya sampai ke ubun-ubunnya, diulurkan ular dan kala jengking.
4. Dan aku lihat perempuan yang memakan badannya sendiri, di bawahnya dinyalakan api neraka.
5. Serta aku lihat perempuan yang bermuka hitam, memakan tali perutnya sendiri.
6. Aku lihat perempuan yang telinganya pekak dan matanya buta, dimasukkan ke dalam peti yang dibuat dari api neraka, otaknya keluar dari lubang hidung, badannya berbau busuk karena penyakit sopak dan kusta.
7. Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya.
8. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti (mengumpat, dll), sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malaikat memukulnya dengan pentung dari api neraka,
Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan, "Mengapa mereka disiksa seperti itu?"
Rasulullah menjawab: "Wahai putriku,
·         Adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.
·         Perempuan yang digantung adalah isteri yang 'mengotori' tempat tidurnya.
·         Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan
·         Perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.
·         Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.
·         Perempuan yang memotong sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang yang kepada orang lain bersolek dan berhias supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.
·         Perempuan yang diikat kedua kaki dan tangannya ke atas ubun-ubunnya diulurkan ular dan kalajengking padanya karena dia meninggalkan solat dan tidak mau mandi junub.
·         Perempuan yang kepalanya seperti babi dan badannya seperti himar ialah tukang umpat dan pendusta.
·         Perempuan yang menyerupai anjing ialah perempuan yang suka memfitnah dan membenci suami.
Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis. Dan inilah peringatan kepada kaum perempuan.
Wahai Sahabatku kaum muslimah.. yuk kita semua mulai memperbaiki diri..
sebelum semua terlambat…  Tutuplah aurat dengan sempurna, jagalah lisan dan akhlak kita. Sebelum datangnya maut merenggut nyawa kita, yang bisa menyelamatkan kita kelak dari azab neraka adalah amalan sholeh yang kita kerjakan semasa hidup di dunia ini ...

Ya Allahakhirilah hidup kami dengan husnul-khatimah (akhir yang baik), dan jangan kau akhiri hidup kami dengan suu-ul-khatimah (akhir yang buruk).. Aamiin yaa Allah yaa Rabbal'Aalamiin...

Thursday, November 23, 2017

RAHASIA UMUR DALAM AYAT-AYAT AL QUR’AN

RAHASIA UMUR DALAM AYAT-AYAT AL QUR’AN

Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan di kepada kejadian(nya) 1272). Maka apakah mereka tidak memikirkan?   ~ QS (36) YaaSiin :  68 ~
1272) Maksudnya: kembali menjadi lemah dan kurang akal
Dalam ayat diatas Allah menggunakan kata Kami. Disamping bermakna kebesaran, ia juga memperlihatkan adanya keterlibatan segala sesuatu selain Allah.
Hal ini sejalan dengan Hadits Rasul "Siapa yang ingin di panjangkan umurnya, di murahkan rezekinya maka hendaklah menyambung tali silaturahim
Menyambung tali silaturrahiim adalah bagian dari memperpanjang usia atau tepatnya harapan hidup. Berkaitan dengan umur, mengembalikan dalam ayat ini berarti kembali seperti semula, yatitu menjadi lemah dan kurang akal. 

Dan Allah telah menciptakan kamu kemudian Dia akan mewafatkan kamu;
dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”
~ QS (16) An-Nahl : 70 ~

Perjalanan manusia dari lahir ke wafat penuh dengan lika liku. Kita berharap semoga lika-liku itu tetap dalam line shirathal mustaqim. Amiiin.
Manusia berkeinginan, namun yang tetap terjadi adalah kuasa Allah. Salah satu diantara apa yang Allah kehendaki tersebut adalah suatu yang pasti; bahwa manusia bertambah lemah dan pikun, sehingga tidak mengingat apa lagi yang pernah dia ketahui.

“Allah, Dialah yang telah menciptakan kamu dari lemah
kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan (kamu)setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
~ QS (30) Ar-Ruum : 54 ~

Ada tiga tahapan dalam ayat ini yaitu:
1. Pertama Lemah.
2. Kedua Kuat.
3. Ketiga Kembali Lemah dan Beruban.
Itulah perjalanan fisik manusia. Puncak kekuatan fisik ada di usia 40 tahun. Sementara rohani di usia 40 adalah awal menuju kesempurnaan. Yang semakin lama akan semakin kuat. Dan itulah sifat dari rohani. 
Ketertarikan manusia kepada fisik tidak jarang menyebabkan mereka lupa kepada esensi dari dirinya. Esensi itu bukanlah fisik. 
Surat dan ayat berikut menggambarkan orang-orang kafir yang menghabiskan usianya hanya untuk melayani fisik dan bahkan menjadi pemujanya.

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu:
 “Ya Tuhan kami keluarkanlah kami (dari neraka ini) niscaya kami akan mengerjakan amal saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”
Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berpikir untuk berpikir.
 Dan (apakah tidak) datang kepada kalian pemberi peringatan?
Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim
seorang penolongpun”
~ QS (35) Faathir : 37 ~

Semoga dapat menjadi peringatan bagi kita semua.

Tuesday, November 21, 2017

MENOLAK MATI

KAJIAN AL QUR’AN
MENOLAK MATI
Pengajian Subuh Masjid At Taubah – Ustadz Abdullah Amin – Bekasi, Senin, 20 November 2017
QS 2 : 243; Kisah tentang orang-orang yang keluar meninggalkan kampung halamannya karena takut mati. Ini terjadi pada masa sebelum Nabi, dan Muhammad diperintahkan untuk memperhatikan fenomena ini. Kisah ini berasal dari kitab, tidak perlu diperdebatkan tempat kampung/wilayah itu berada, karena tidak bermanfaat. Penyebab orang-orang itu takut mati: 1. Menurut Ibnu Katsir adalah karena adanya wabah. 2. Menurut ahli tafsir lainnya, karena kampung itu mau diserang oleh pasukan raja yang kuat.
Mengenai tafsir tentang “mati”: 1. Ibnu Katsir, mati yang sebenar-benarnya mati raga. 2. Ahli tafsir lainnya, mati ditafsirkan sebagai mati semangatnya, nyalinya.
QS 2 : 259; Ini kisah Qimar di satu negeri, di mana dia dimatikan lalu 100 tahun kemudian Allah menghidupkannya kembali. Ini bukti kekuasaan Allah yang bisa menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Buah-buahan dan makanan tetap segar selama 100 tahun. Keledai yang tinggal tulang belulang disatukan lagi tulang belulangnya kemudian dibalutkan dagingnya dan hidup kembali. Tidak ada sulitnya Allah mematikan dan menghidupkan kembali sesuatu
QS 3 : 166-168; Orang munafik ketika diajak untuk berperang (pada perang Uhud) mereka menolak. Mereka berkata: “Kalau kamu mendengar nasihat kami, maka kamu tidak akan mati dalam peperangan”
QS 3 : 169; Orang yang gugur berjihad di jalan Allah tidak mati tetapi tetap hidup
QS 4 -77-78; Orang munafik menolak berperang karena takut dibunuh oleh musuh. Dilarang memulai suatu peperangan, dan hanya boleh berperang bila diserang terlebih dahulu.  Kematian pasti akan datang menemui kita, walaupun bersembunyi di manapun, di benteng yang tinggi dan kokoh tetap akan ditemui oleh kematian.
QS 62 : 8; Kematian itu pasti akan datang walau mencoba untuk menghindar, agar ruh setiap manusia dikembalikan kepada Allah untuk dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatannya.
QS 21: 34-35; Tiada seorang manusiapun yang hidup kekal di dunia, dan pasti akan mati setelah diuji dengan keburukan dan kebaikan selama hidup di dunia.
Kutipan ayat Al Qur’an yang menegaskan firman Allah tentang Menolak Mati.
“Apakah kamu tidak memperhatkan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman: kepada mereka: “matilah kamu” 154), kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” ~ QS (2) Al Baqarah : 243 ~

154) Sebahagian ahli tafsir (seperti Al-Thabari dan Ibnu Katsir) mengartikan mati di sini dengan mati yang sebenarnya, sedangkan sebahagian ahli tafsir yang lain mengartikannya dengan mati semangat
-----------------------------------------------------------------------------------
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”. Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”~ QS (2) Al Baqarah : 259 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------
[77] “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yng dikatakan kepada mereka 317): “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” 318).
[78] Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan 319), mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)” Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan 320) sedikitpun?”  ~ QS (4) An Nisaa’ : 77-78 ~

317) Orang-orang yang menampakkan dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang.
318) Artinya pahala turut berperang tidak akan dikurangi sedikitpun.
319) Kemenangan dalam peperangan atau rejeki.
320) Pelajaran dan nasihat-nasihat yang diberikan
-----------------------------------------------------------------------------------
[166] Dan apa yang menimpa kamu pada hri bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman
[167] dan upaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu” 247). Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
[168] Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” ~ QS (3) Ali Imran : 166-168 ~

247) Ucapan ini ditujukan kepada Nabi dan sahabat-sahabat beliau sebagai ejekan, karena mereka memandang Nabi tidak tahu taktik berperang sebab beliau melakukan peperangan ketika jumlah kaum muslimin sedikit. Ucapan ini dapat digunakan untuk mengelakkan cercaan yang ditujukan kaepada diri orang-orang munafik sendiri.
-----------------------------------------------------------------------------------
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup 248) di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” ~ QS (3) Ali Imran : 169 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” ~ QS (62) Al Jumu’ah : 8 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------
“[34] Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?
[35] Tiap-tiap yang berjiwa akan  merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” ~ QS (21) Al Anbiyaa’ : 34-35 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------
Disarikan oleh H. R. Mimuk Bambang Irawan - Jakasampurna, Bekasi, Senin, 20 November 2017

Monday, November 20, 2017

KAJIAN MUHARRAM

KAJIAN MUHARRAM
Perbedaan antara tahun Hijriyah dan tahun Masehi...

Sebagai muslim, ada baiknya kita mengetahui landasan suatu perbuatan sebelum mengerjakannya. Imam Bukhari rahimahullah sendiri menulis bab khusus dalam kitab shahihnya "al ‘ilmu qablal qaul wal ‘amal”, ilmu sebelum perkataan dan pekerjaan. Rasanya momentum pergantian tahun ini tepat bagi kita untuk kembali mengkaji dan mencari tahu sejarah dibalik penetapan tahun Masehi maupun Hijriyah.
Sejarah Penanggalan Masehi
Kalender Masehi merupakan sistem penanggalan yang merujuk pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Itulah mengapa penanggalan ini sering disebut kalender syamsyiah. Seperti yang banyak diketahui orang, penamaan dua belas bulan pada tahun Masehi dimulai dari Januari sampai Desember. Awal mula penanggalannya sendiri diambil dari peristiwa kelahiran nabi Isa Almasih as, sehingga disebut ‘Masehi’ atau dengan nama lain ‘Miladiyah’ yang berarti kelahiran.
Sistem kalender Masehi sangat berhubungan erat dengan sejarah bangsa Romawi. Begitu pula dengan nama-nama bulan pada kalender masehi diambil dari nama-nama dewa bangsa Romawi. Berikut makna dari nama-nama bulan pada kalender Masehi:
Januari, diambil dari Januarius, berasal dari kata Janus yaitu malaikat bermuka dua penjaga gerbang Roma; Februari, dahulu namanya adalah Februarius, berasal dari kata Februa (hari pembersihan bagi bangsa romawi); Maret, dahulu bernama Martius, berasal dari kata Mars, yaitu dewa perang; April, dahulu namanya adalah Aprili, berasal dari kata Apru yang merupakan dewa asmara bangsa Etruscan; Mei, dahulu namanya adalah Maiusl yang berasal dari kata Maia, Maia adalah saudara tertua Atlas, sosok Titan (penguasa bumi) yang memanggul bola langit menurut kepercayaan bangsa Romawi; Juni, dahulu namanya adalah Junius, diambil dari kata Juno, istri Jupiter, jupiter atau jove sendiri menurut kepercayaan orang-orang romawi merupakan rajanya Tuhan sekaligus dewa langit dan petir; Juli, dahulu namanya adalah Quintilis; kemudian diganti menjadi Julius setelah raja Julius Caesar (100-44 BCE (Before Common Era (sebelum Masehi)); Agustus, dahulu namanya adalah Sextilis (bulan ke-6), kemudian diganti menjadi Augustus setelah raja Augustus memerintah (63 BCE); September, yang artinya bulan ke tujuh; Oktober, berasal dari kata yang sama, Oktober (bulan ke-8); November, berasal dari kata yang sama, November yang artinya bulan ke-9; Desember, berasal dari kata yang sama, Desember (bulanke-10)
Pada saat itu kalender masehi berjumlah sepuluh bulan, dimulai dari bulan Maret dan berakhir pada Desember. Kemudian Raja Numa Pompilius menambahkan dua bulan yaitu Januari dan Februari.
Sejarah Penanggalan Hijriyah
Nama-nama bulan pada kalender hijriyah seperti Muharram, Rabi’ulawwal, dan lain-lain sudah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. Hanya saja mereka belum menetapkan ini tahun berapa, melainkan ini tahun apa, seperti peristiwa kelahiran nabi Muhammad SAW dikenal sebagai tahun gajah. Peristiwa yang melatar-belakangi penetapan kalender hijriyah sendiri terjadi di zaman khalifah Umar bin Khattab RA. Ketika itu Abu Musa Al-Asy’ari sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar RA menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Dari situlah khalifah Umar RA mengumpulkan beberapa sahabat untuk merumuskan pembuatan tahun Islam (taqwiim Islami). Ketika itu beberapa sahabat mengusulkan penanggalan Islam berdasarkan kelahiran Rasul SAW, ada juga yang mengusulkan berdasarkan wafatnya Rasul SAW, namun mereka menyepakati pendapat Ali bin Abi Thalib, yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasul SAW dari Mekah ke Yatsrib (Madinah) 
 Itulah sebabnya disebut kalender Hijriyah (taqwiim Hijriy). Sedangkan nama-nama bulan diambil dari nama-nama bulan yang telah ada pada masa itu di wilayah Arab.
Penanggalan kalender Hijriyah mengacu pada rotasi bulan mengelilingi matahari, sehingga disebut juga kalender qamariyyah yang berasal dari kata qamar yang berarti bulan. Adapun makna dari nama-nama bulan pada tahun qamariyah atau hijriyah sebagai berikut:
Muharram artinya yang diharamkan yaitu bulan yang padanya diharamkan menumpahkan darah atau berperang; 
Safar artinya perjalanan atau berasal dari kata lain shifr yang artinya kosong karena pada bulan itu orang-orang masa lampau biasa meninggalkan rumah mereka untuk berperang, berdagang, berburu, dan sebagainya, sehingga rumah-rumah mereka kosong;  
Rabiul awal artinya menetap yang pertama, karena para lelaki Arab dahulu yang tadinya meninggalkan rumah mereka kembali pulang dan menetap pada bulan ini; 
Rabiul akhir artinya menetap yang terakhir, yaitu bulan akhir bagi mereka untuk menetap; 
Jumadil awal artinya kering/beku/padat yang pertama, pada waktu itu air menjadi beku / padat; 
Jumadil akhir artinya kering/beku/padat yang terakhir; 
Rajab artinya mulia, bangsa Arab ketika itu memuliakan bulan ini terutama tanggal 10 (untuk berkurban anak unta) dan tanggal 1 (untuk membuka pintu Ka’bah terus-menerus);  
Sya’ban artinya berpencar, karena orang-orang Arab dahulu berpencar ke mana saja mencari air dan sumber penghidupan;
Ramadhan artinya panas terik atau terbakar, karena pada bulan ini jazirah Arab sangat panas sehingga terik matahari dapat membakar kulit yang juga berarti pembakaran bagi dosa-dosa sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW;  
Syawal artinya naik, karena pada bulan itu bila orang Arab hendak menaiki unta dengan memukul ekornya, maka ekornya naik, Syawal dapat pula berarti bulan peningkatan amal;
Dzulqaidah artinya yang duduk, karena kaum lelaki Arab dahulu pada bulan ini hanya duduk saja di rumah tidak bepergian ke manapun; 
Dzulhijjah artinya yang memiliki haji, karena pada bulan ini sejak zaman Nabi Ibrahim AS orang-orang biasa melakukan ibadah Haji atau ziarah ke Baitullah, Mekah.
Islam Memandang Tahun
Dalam surat At Taubah Allah ayat 36 menjelaskan tentang penetapan tahun dan bulan.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah itu ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ~ QS (9) At Taubah : 36 ~
Sebagai agama yang syaamil, Islam tak membiarkan suatu masalah pun melainkan ada aturan Islam di dalamnya. Termasuk juga tentang penetapan tahun dan bulan. Sehingga melalui ijtihad Umar dan para sahabat radiyallahu’anhum, ketika itu menentukan penanggalan bagi umat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri banyak menjelaskan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ibadah, seperti halnya haji, puasa Ramadhan, dan turunnya Al-Quran. Seperti dalam firman-Nya dalam surah Al Baqarah ayat 197, “Haji merupakan beberapa bulan yang diketahui…” dan pada ayat 185, "bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”
Akan tetapi sangat disayangkan, sebagian besar umat Islam justru lebih hafal hari dan bulan-bulan masehi dibanding hari dan bulan hijriyah. Fenomena yang terjadi pun sama ketika pergantian tahun. Begitu sesak orang-orang memperingati pergantian tahun Masehi ketimbang yang peduli dengan pergantian tahun Islam dan peristiwa hijrah. Padahal dari sejarah dan makna bulan-bulan itu sendiri sudah jelas, bahwa penanggalan Hijriyah dibangun atas landasan syariat ibadah, yaitu peristiwa hijrah. Sedangkan tahun dan nama-nama bulan Masehi jelas berkiblat pada peradaban jahiliyah bangsa Romawi.
Umat Islam saat ini lebih mengenal bulan-bulan yang diambil dari nama dewa-dewa bangsa Romawi. Sementara nama-nama bulan Islam yang erat kaitannya dengan ibadah dan peristiwa sejarah Islam justru banyak dilupakan. Inilah mengapa pergantian tahun Masehi senantiasa lebih marak.
Sungguh sayang bagi umat Islam kalau begitu bangga dengan tahun yang bukan milik orang Islam dan lupa akan tahun Islam milik sendiri. Letak persoalannya bukan tanggal dan tahun mana yang kita gunakan, tetapi mana yang lebih kita banggakan. Sudah saatnya kita sadar dan bangkit sehingga Islam itu kembali tinggi dan di hormati  wallahu a"lam 
dari tulisan...Raji Luqya Maulah.
Barakallaahu lanaa walakum...

Tetap semangat berbagi kebaikan dan semoga di tahun baru Hijriyah ini kita bisa berhijrah kepada kebaikan.

Sunday, November 19, 2017

ROHINGYA, THE SPOILS OF IMPERIALISM

ROHINGYA, THE SPOILS OF IMPERIALISM
Oleh: Radhar Tribaskoro (Alumni ITB) - 11 September 2017

Hoax? Aung San Suu Kyi dengan ketus mengatakan bahwa media massa dunia mengkonsumsi berita palsu. Ia menunjuk sejumlah foto pembakaran rumah-rumah Rohingya yang dimuat berbagai media massa sebagai hoax. Nampaknya Suu Kyi bergeming betapapun kritik dan kecaman datang dari seluruh dunia tidak terkecuali dari para peraih Nobel. Sikap peraih nobel perdamaian 1991 ini menimbulkan pertanyaan. Apakah semua kecaman itu hoax semua, ataukah reaksi dunia yang melampaui batas?
Saya berpendapat kepedulian dunia atas nasib etnis Rohingya adalah sangat normal, dan permintaan Uskup Desmond Tutu agar pemerintah Myanmar mengakhiri tindak kekerasan itu adalah sangat wajar. Tindak kekerasan kepada kaum yang lemah sangat mengusik rasa kemanusiaan. Siapapun-dimanapun orang harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri tindak kekerasan itu.
Aung San Suu Kyi pasti mengerti prinsip di atas jauh lebih dari orang kebanyakan, sebab ia peraih penghargaan Nobel untuk Perdamaian. Ia telah berjuang dan menderita puluhan tahun demi menghidupkan prinsip tersebut. Jadi, kenapa reaksinya seperti itu? Reaksi itu memberi kesan bahwa dunia tidak memahami persoalan yang dia hadapi. Dunia sok menggurui!
Saya pikir kita perlu memahami isu Rohingya lebih mendalam, termasuk bagaimana isu itu dilihat dari berbagai perspektif. Pemahaman tersebut diperlukan agar kita bisa membentuk sikap secara lebih adil. Secara khusus saya tertarik mempelajari isu Rohingya ini karena ada paralelisme dengan pengalaman kita sendiri di Indonesia, misalnya ketika menyikapi isu minoritas (Cina) dan komunisme (PKI). Kesejajaran itu saya kira terkait dengan pengalaman kedua bangsa yang sama lahir dari puing reruntuhan kolonialisme dan imperialisme.
Akar Konflik Rohingya
Kasus Rohingya dan kasus Cina di Indonesia sama di mata saya. Keduanya adalah produk sia-sia (spoils) dari imperialisme. Rohingya di Burma (Myanmar) dan Cina di Indonesia pernah menjadi alat imperialis untuk menindas kaum terjajah.
Inggris, seperti halnya kaum kolonialis lain, membutuhkan suatu kelompok sosial membantunya mengelola wilayah jajahan. Mereka bisa menggunakan kaum feodal lokal atau mempekerjakan orang dari sukubangsa yang lain. Orang India membanjiri Rangoon sejak Inggris sepenuhnya menaklukan Burma pada tahun 1886. Dalam tempo setengah abad ibukota Burma itu akan didominasi oleh etnis India. Inggris memanfaatkan etnis India untuk mengelola administrasi pemerintahan, buruh kereta api, pelabuhan, pertambangan, perdagangan, bahkan menjadi tentara bayaran. Sementara itu orang-orang Bengali (dulu termasuk etnis India, sekarang Bangladesh) telah lebih dulu memasuki Arakan, suatu wilayah memanjang di pesisir barat Burma sampai ke perbatasan Bangladesh, juga atas dorongan Inggris yang mendudukinya setelah memenangkan Perang Burma-Inggris Pertama tahun 1824.
Orang-oran Bengali di Arakan (belakangan menyebut dirinya Rohingya), dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk mengembangkan pertanian yang ditinggalkan oleh orang-orang Arakan (belakangan disebut Rakhine) yang tidak sudi dijajah oleh Inggris. Seperti halnya Rangoon, kebijakan kolonial Inggris ini menyebabkan populasi etnis Bengali di Arakan membengkak 300% hanya pada beberapa tahun pertama. Belakangan dominasi pelayanan publik, penguasaan ekonomi, peralihan penguasaan tanah dan membengkaknya populasi India (Bengali) menjadi sumber konflik utama antara etnis Burma dengan India, selepas Inggris gagal mengatasi invasi Jepang pada tahun 1942.
Pada dasarnya kondisi kolonialialisme dan imperialisme telah menciptakan ketegangan dalam hubungan antar-etnis di Burma. Etnis pribumi benci dan marah karena harus membayar suap kepada etnis india untuk mendapat layanan pemerintah, mereka pun harus membayar mahal untuk produk kebutuhan pokok yang dimonopoli oleh orang india, sementara ketika ketidak-puasan pecah pemerintah Inggris mengirim tentara India (Gurkha) untuk menindas mereka, seringkali dengan kekerasan.
Dendam dan kebencian mewarnai hubungan etnis Rohingya dan etnis Burma sejak hampir 200 tahun terakhir. Entah berapa kali konflik diantara keduanya meledak dalam kekerasan. Dalam semua konflik itu, terutama setelah kemerdekaan 1948, etnis Rohingya paling menderita. Ratusan ribu terbunuh, ratusan ribu mengungsi ke negara-negara sekitar.
Ketika Inggris bermaksud meninggalkan Burma, orang-orang India harus memilih apakah tetap tinggal atau kembali ke India. Sebagian besar memilih pulang ke India. Pada waktu itu etnis India telah menjadi penduduk mayoritas di Rangoon, ibukota Burma. Jumlah mereka sekitar sejuta orang. Tanpa kehadiran Inggris keberadaan mereka sangat rentan. Selama ini, mereka harus hidup dalam bayangan kekerasan. Sepanjang 30 tahun terakhir kerusuhan etnis anti-india meletus semakin sering, kerusuhan terbesar bisa memakan jiwa ribuan orang. Mereka menjadi sasaran kebencian orang Burma terhadap imperialisme. Orang Burma menganggap mereka sebagai antek penjajah, bukan orang orang Burma. Mereka pun tidak menganggap Burma sebagai tanah air; India adalah tanah air (Tinker, 2014).
Jadi orang India di Rangoon memilih pulang ke negerinya ketika Inggris tidak mampu mempertahankan Burma dari invasi Jepang. Lebih dari 500 ribu orang eksodus dalam long march meninggalkan Rangoon menuju india. Sebagian lagi menggunakan jalur laut menuju Kalkuta. Long march itu menempuh perjalanan hampir 1000 km menembus hutan lebat, sungai dan gunung. Hanya 400.000 orang yang berhasil mencapai tujuan.
Namun orang Rohingya tetap tinggal.
Mereka mungkin tidak menghadapi masalah sekritis saudaranya di Rangoon. Mungkin long march tidak diperlukan sebab Arakan dan India hanya terpisah oleh aliran sungai Naf. Mungkin juga mereka sudah tidak punya lagi tempat di kampung halaman. Atau orang Rohingya mempunyai cita-cita lain dan merasa mampu mengatasi konflik dengan etnis asli Burma.
Rohingya berada di pihak Inggris ketika invasi Jepang, sementara tentara Burma mendukung Jepang karena, seperti di Indonesia, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Burma. Inggris mempersenjatai Rohingya dan membentuk V(olunteer)-Brigade beranggotakan orang-orang Rohingya. Namun bukannya mempergunakan senjata itu untuk melawan Jepang, orang Rohingya menggunakannya untuk menyerang desa-desa Arakan Budhis dengan alasan simpatisan Jepang. Orang Burma masih mengingat Arakan Massacre tahun 1942 ketika bentrok antara orang Rohingya di bawah V-Brigade dengan orang Arakan Budhis menyebabkan jatuhnya 50.000 korban di pihak Arakan Budhis. Pembantaian berbalik ketika Jepang menguasai Arakan.
Karakter Konflik Rohingya
Karakter konflik Rohingya ditentukan oleh sedikitnya 3 skenario politik yang dicanangkan oleh para tokoh Rohingya. Ketiga skenario berjalan nyaris bersamaan. Skenario pertama adalah mendirikan daarul islam atau negara Islam di Arakan. Arakan memang pernah menjadi protektorat Sultan Bengali tetapi tidak pernah menjadi Islam. Raja Arakan senang berpakaian muslim seperti Sultan Bengali dan memiliki struktur pengadilan persis pengadilan Islam, namun mereka tetap beragama Budha.
Skenario negara Islam ini mendapat inspirasi dari Wahabi yang sedang menguat waktu itu di Saudi Arabia. Kalau kita menengok kondisi di Indonesia, pada periode yang sama, tahun 1830an, beberapa orang Minang mengobarkan perang Paderi selepas mereka menjalankan ibadah haji. Gagasan di balik perang tersebut adalah wahabisme yang sama.
Wahabisme di Arakan dijalankan oleh orang Rohingya dengan mengadopsi cara hidup komunal Arab. Mereka mencoba berswasembada dengan membikin komunitas mandiri di tanah-tanah pertanian. Para tuan tanah mengumpulkan pekerja-pekerja di tanahnya, mereka membangun perkampungan, memproduksi makanan sendiri, membuat sekolah sendiri, punya puskesmas sendiri, dan berlatih perang. Jadi perang dan kekuatan bersenjata di belakangnya sudah lama ada, jauh sebelum ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) berdiri.
Skenario politik kedua adalah memisahkan diri dari Burma. Pada tahun 1947 ketika Pakistan akan berdiri tokoh-tokoh Rohingya meminta M. Ali Jinnah (pendiri Pakistan) untuk memasukan Arakan sebagai wilayah Pakistan. Jinnah menolak permintaan itu karena ia tidak ingin berselisih dengan Burma. Kesempatan kedua muncul saat Pakistan Timur berperang untuk melepaskan diri dari dominasi Pakistan Barat. Sayangnya, Rohingya memilih untuk berpihak kepada Pakistan Barat. Maka ketika Pakistan Timur menang dan mendeklarasikan berdirinya Bangladesh tahun 1971 tak ada simpati Bangladesh kepada orang Rohingya. Sebaliknya pemerintah Burma semakin antipati, mereka menganggap Rohingya separatis dan backstabbing dua kali. Gambaran kemarahan militer Burma mungkin bisa dibandingkan dengan kemarahan Orde Baru kepada PKI yang juga dianggap telah berkhianat dua kali.
Skenario politik ketiga adalah menuntut pemerintah Burma hak sebagai warga negara yang sah dan diperlakukan seperti sukubangsa Burma lainnya, misal Bamar, Karen, Rakhine, Mon, Shan dsb.
Tidak ada diantara ketiga skenario itu yang diterima oleh pemerintah Burma. Skenario ketiga yang paling lunak pun ditolak dengan alasan bahwa Rohingya tidak seperti suku-suku lain yang menjadi mayoritas di suatu wilayah. Bahkan di Arakan, muslim Rohingya adalah minoritas dibandingkan dengan budhis Arakan.
Sebaliknya pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya (berarti penduduk wilayah Rohang atau Arakan) tidak ada. Rohingya adalah identitas politik artifisial yang diciptakan tahun 1950an untuk mengklaim wilayah Arakan. Aungsan Suu Kyi menegaskan kembali hal tersebut ketika utusan PBB menemuinya.
Dalam pandangan pemerintah Myanmar, orang Rohingya adalah orang Bengali. Mereka imigran dari Bengali (sekarang Bangladesh), dan karena tidak memiliki dokumen mereka dianggap imigran gelap.
Perspektif kedua pihak yang sangat bertentangan itu menjelaskan mengapa pada tanggal 25 Agustus 2017 ARSA mengorganisir serangan kepada 30 pos polisi, militer dan pengawal perbatasan di Rakhine (Arakan). Jelas juga mengapa jawaban pemerintah Myanmar sangat keras dan tak peduli telah mengakibatkan ratusan ribu pengungsi membanjiri Bangladesh.
Adalah menarik kalau kita renungkan betapa retorika pemerintah Myanmar terhadap Rohingya tidak jauh berbeda dengan retorika kita kepada PKI. "Mereka tidak bisa dipercaya. Selalu berbohong dan menipu. Mereka telah berkhianat kepada republik. Berkali-kali !!" Hal yang tidak mengherankan bila mengingat bahwa kita dan Myanmar sama harus menanggung sisa-sisa sia-sia dari kolonialisme dan imperialisme.
Prospek Konflik Rohingya
Tidak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi pada Rohingya. Tetapi tidak seorang pun bisa menyangkal, termasuk Aungsan Suu Kyi, bahwa bencana kemanusiaan telah menimpa Rohingya. Dengan cara bagaimana bencana itu diakhiri dan bagaimana setiap langkah merupakan bagian dari sebuah solusi permanen atas masalah Rohingya, itu persoalannya.
Sebagai langkah awal saya ingin menggaris-bawahi beberapa pokok pikiran di bawah ini. Saya menyusunnya berdasarkan sudut pandang moral.
1. Masalah paling urgen, yaitu masalah kemanusiaan, harus didahulukan. Kehidupan pengungsi di Bangladesh sangatlah sengsara. Di sini mereka tidak boleh bekerja, bepergian, sekolah dsb. Bagi Bangladesh, Rohingya sebuah dilema. Walau seetnis, mereka tidak menghendaki Rohingya. Ada kecelakaan sejarah dalam hubungan Rohingya dengan Bangladesh, daya dukung ekonomi Bangladesh yang sangat terbatas untuk menampung lebih sejuta orang Rohingya dan masalah keamanan perbatasan di masa depan. 
Inilah dilema stateless Rohingya: Burma mengusir mereka sementara Bangladesh tidak bisa menerima mereka. Justru di kedua negara itu, Rohingya terus-menerus menjadi korban pemerasan, penghinaan, perkosaan, perampokan, pembakaran bahkan pembunuhan massal. Maka, bukannya berlebihan kalau PBB mengatakan Rohingya adalah suku yang paling tidak dikehendaki dan paling dipersekusi di dunia. 
2. Fokus tekanan luar negeri hendaknya jangan hanya ditujukan kepada Aungsan Suu Kyi. Pemerintahan sipil di Myanmar baru dimulai 2012, masih sangat muda terutama mengingat sebagian besar kekuasaan ekonomi dan politik masih dipegang oleh junta militer. Saya dapat menambahkan bahwa Suu Kyi bukan faktor menentukan. Dalam kaitan integritas (persatuan dan kesatuan) negara, junta militer tetap memegang kekusaan yang nyaris absolut. Posisi itu telah mereka genggam selama hampir 70 tahun. 
Berbeda dengan Indonesia, kekuatan politikus dan intelektual tidak terlalu berarti dibanding militer. Hal itu terkait dengan kontribusi militer, dipelopori oleh Thirty Comrades, yaitu sekelompok perwira muda progresif dipimpin ole Aungsan (ayah Suu Kyi), yang sangat signifikan atas kemerdekaan Burma. Perlu pula ditambahkan, di masa lalu Tatmadaw tidak sungkan menarik komitmennya terhadap demokrasi dan melancarkan kudeta dengan alasan menjaga integritas negara.
Karena itu sasaran dialog dan lobby dunia internasional sebaiknya perlu juga ditujukan kepada Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar). Bukankah untuk menurunkan tingkat kekerasan dan kebrutalan di lapangan para komandan lapangan harus diajak bicara? Selain itu dialog juga perlu dilakukan kepada kaum Rakhine Budhis. Merekalah yang selama hampir dua ratus tahun terakhir berhadapan head to head dengan Rohingya. Dendam dan kebencian kepada Rohingya terutama menggumpal di kalangan mereka ini. Dalam hemat saya, bila Rakhine Budhis dan junta militer telah terbuka hatinya tidak terlalu sukar bagi Suu Kyi untuk mengambil kebijakan mengakhiri penderitaan Rohingya.
3. Solusi politik tetap harus ditemukan karena dari sanalah kita berharap penderitaan Rohingya bisa dihentikan. Inti dari solusi itu adalah menyingkirkan the spoils of imperialism yaitu dendam dan kebencian. Dari sana kita berharap hubungan antar-manusia dan antar-etnis di Myanmar mengalir secara wajar. Dari sana kita berharap Rohingya bersama dengan suku-suku Myanmar lainnya dapat berkontribusi untuk Myanmar yang makmur dan adil. Sebelum mencapai maksud tersebut sangat penting meyakinkan pemerintah Myanmar bahwa ethnic cleansing adalah brutal dan tidak bisa diterima dunia. Myanmar akan kehilangan banyak peluang bila terus menjalankan kebijakan itu. 
Tentu saja tidak mudah menghilangkan dendam dan kebencian yang telah berumur ratusan tahun. Ekspresi umat Budha Myanmar kepada Rohingya yang begitu keras, jauh berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, menunjukkan bahwa jalan itu sangatlah berat. Tetapi bukankah kewajiban negara untuk bekerja berdasarkan akal sehat? Para pemimpin Myanmar harus menyadari bahwa tidak mungkin mereka membunuh atau mengusir satu juta orang tanpa membuat dunia mengarahkan kepalannya kepada mereka. Tidak mungkin pula hal itu dilakukan tanpa mengusik hati-nurani bangsa Myanmar sendiri, kini atau nanti.
Pada tingkat yang paling dasar, solusi politik itu bermakna pengakuan atas kewarganegaraan orang Rohingya. Status stateless Rohingya harus diakhiri.
4. Terus terang, selama saya menulis artikel ini saya tergoda untuk mengatakan, "Belajarlah dari Indonesia bagaimana memperlakukan minoritas." Secara moral, para bapak bangsa kita telah meletakkan fondasi yang benar, yaitu meletakkan keberagaman sebagai kekayaan. Konstitusi dan hukum kita pun telah didesain dengan perlindungan maksimal atas hak-hak minoritas. Tetapi apakah kita telah memiliki hubungan antar-etnis dan antar-agama yang berkeadilan dan harmonis? Ternyata pihak majoritas maupun minoritas sama menyatakan tidak puas. Lantas, apa yang salah?
Pertanyaan ini menghentikan niat saya untuk menyombongkan diri sendiri. Walau saya tahu orang Myanmar sangat ramah, saya khawatir di belakang punggung mereka menertawakan saya.
Penutup
Apa yang saya sampaikan di atas pada dasarnya hanyalah sebuah sikap moral. Dalam tingkatan praktis, moralitas berarti daftar keinginan. Ketika daftar itu dinyatakan tidak  lantas semua masalah terkait keberadaan Rohingya akan berakhir. Antara keinginan dengan kenyataan terbentang jurang yang lebar.
Dulu ketika muda saya senang sekali mengutip Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Saya membutuhkan kemewahan itu agar memiliki sense of direction, memiliki harapan. Saya masih belum mau bagian muda dari diri saya itu menghilang sekarang. Namun, sekalipun kita tahu mawar lebih harum daripada kubis jangan kemudian beranggapan bahwa sup akan lebih nikmat bila mawar menggantikan kubis.
Perjalanan seorang idealis tidak berbeda dengan orang mengupas bawang. Ia menyingkap lapis ilusi untuk menemukan lapis ilusi yang baru. Burma telah memulainya dengan sangat baik. Aung San, bapak bangsa Burma sekaligus bapak Aungsan Suu Kyi, memiliki tujuan yang jelas bahwa Burma yang bersatu haruslah melibatkan semua etnis yang ada. Katanya: 
"Bangsa adalah sebuah kolektivitas orang-orang dari manapun asal etnisnya, yang berhubungan erat, yang memiliki kepentingan bersama, berbagi kesedihan dan kegembiraan, di saat-saat bersejarah yang membutuhkan rasa kesatuan. Sekalipun ras, etnis, agama dan bahasa berbeda, namun hasrat dan keinginan untuk bersatu dalam suka dan duka akan mengikat kebersamaan dan menjadikan semuanya sebagai satu bangsa dengan kesediaan membelanya sepenuh jiwa."
Aung San telah menuliskan pernyataan moral yang indah. Setelah 70 tahun merdeka dan ilusi demi ilusi tersingkap, kita senang menyaksikan Burma masih tetap setia kepada garis yang telah dituliskan pendirinya. Mungkin tidak sedikit orang melecehkan mengingat realitas saat ini. Ya, pasti ada orang senang melihat dari sisi gelap. Saya lebih senang melihat dari sisi terang, idealisme adalah visi yang tengah diwujudkan. Burma tidak gagal, hanya kurang berhasil.
Referensi:
Akhter, S., & Kusakabe, K. (2014). Gender-based Violence among Documented Rohingya Refugees in Bangladesh. Indian Journal of Gender Studies, 21(2), 225–246. http://doi.org/10.1177/0971521514525088
Ansel, S. A., Mahāwitthayālai Chīang Mai. Regional Center for Social Science and Sustainable Development. (n.d.). Stateless Rohingya... running on empty.
Brooten, L. (2015). Blind Spots in Human Rights Coverage: Framing Violence Against the Rohingya in Myanmar/Burma. Popular Communication, 13(2), 132–144. http://doi.org/10.1080/15405702.2015.1021466
Burma. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar), 1–25.
Carey, P. (2008). Burma: The Challenge of Change in a Divided Society, 1–279.
Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 00(00), 1–23. http://doi.org/10.1080/00472336.2017.1297476
Chatty, D., & Finlayson, B. (2010). Dispossession and displacement: forced migration in the Middle East and North Africa. Routledge. http://doi.org/10.4324/9781315556925
Cheung, S. (2012). “Migration Control and the Solutions Impasse in South and Southeast Asia: Implications from the Rohingya Experience.” Journal of Refugee Studies, 25(1), 50–70. http://doi.org/10.1093/jrs/fer048
Farzana, K. F. (2015). Boundaries in Shaping the Rohingya Identity and the Shifting Context of Borderland Politics. Studies in Ethnicity and Nationalism, 15(2), 292–314. http://doi.org/10.1111/sena.12142
---. Memories of Burmese Rohingya Refugees. Springer.
Gravers, M. (1994). Nationalism as Political Paranoia in Burma: An Essay on the Historical Practice of Power. (Vol. 53). Curzon Press. http://doi.org/10.2307/2059806
Islam, N. (1999). Islam: The Rohingya Problem - Google Scholar. Arakan Rohingya National Organisation (ARNO).
Kingston, L. N. (2015). Protecting the world“s most persecuted: the responsibility to protect and Burma”s Rohingya minority. The International Journal of Human Rights, 19(8), 1163–1175. http://doi.org/10.1080/13642987.2015.1082831
Kipgen, N. (2013a). Addressing the Rohingya Problem. Journal of Asian and African Studies, 49(2), 234–247. http://doi.org/10.1177/0021909613505269
Kipgen, N. (2013b). Conflict in Rakhine State in Myanmar: Rohingya Muslims' Conundrum. Journal of Muslim Minority Affairs, 33(2), 298–310. http://doi.org/10.1080/13602004.2013.810117
Kironska, S. C. Y. K. K. (2016). The Rohingya Oxymoron: Stateless People Leaving their Home Country, 1–28.
Kosem, S., & Saleem, A. (2016). Religion, Nationalism, and the Rohingya's Search for Citizenship in Myanmar. Muslim Minority-State Relations: Violence, 3(2), 211–224. http://doi.org/10.1007/978-1-137-52605-29
Lancet, T. (2016). Recognising the Rohingya people. The Lancet, 388(10061), 2714. http://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32458-8
Lee, R. (2014). A Politician, Not an Icon: Aung San Suu Kyi's Silence on Myanmar's Muslim Rohingya. Islam and Christian–Muslim Relations, 25(3), 321–333. http://doi.org/10.1080/09596410.2014.913850
Myint-U, T. (2004). The Making of Modern Burma, 1–294.
Rieffel, A. (2010). Myanmar/Burma. Brookings Institution Press.
Thawnghmung, A. M. (2011). Beyond armed resistance: ethnonational politics in Burma (Myanmar). Policy Studies.