Thursday, October 19, 2017

PERIHAL PERCERAIAN (Bagian 3)

KAJIAN AL QUR’AN
PERIHAL PERCERAIAN (Bagian 3)
Pengajian Subuh Masjid At Taubah – Ustadz Abdullah Amin – Bekasi, 16-17 Oktober 2017
Surat Al Baqarah ayat 226 s/d 242 merupakan perintah/larangan Allah yang berkaitan dengan perceraian, kecuali 2 ayat di antara ayat-ayat tersebut, yakni ayat 238 dan 239 yang membahas tentang sholat.
QS 2 : 226; Tentang orang-orang yang bersumpah untuk tidak menggauli/ menyetubuhi istrinya selama-lamanya (= ilaa’). Dengan turunnya ayat ini, maka suami setelah 4 bulan harus memilih dan memutuskan antara kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kafarrat sumpah atau menceraikannya.
QS 2 : 227; Dibolehkan ber-talaq bila bercerai sudah jadi keputusan bersama.
QS 2 : 228; Istri yang dicerai harus menunggu/menahan diri selama 3 kali quru’/haid’.  Kalau istri sudah dicerai, tidak boleh digauli/disetubuhi. Kalau dalam keadaan suci (sudah lewat masa haidnya) namun tetap digauli = talaq bin’ah.
Para suami berhak merujuki istrinya dalam masa iddah itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.
QS 2 : 229; Dibolehkan bagi suami untuk mentalaq dan merujuk istrinya dua kali. Kalau talaq ke-3 ada aturannya sendiri untuk rujuk lagi.
Saat rujuk lakukan dengan cara yang ma’ruf dan ceraikan dengan cara yang baik. Apa yang sudah diberikan kepada istri tidak boleh diminta kembali. Kecuali kalau keduanya merasa tidak sanggup untuk menjalankan hukum-hukum Allah, misalnya kegagalan membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, cecok dan berbeda pendapat terus, dapat dibuat kesepakatan di mana istri bersedia mengembalikan sebagian apa yang sudah diberikan oleh suami.
Bila istri yang minta cerai (khulu’ = talaq tebus), maka dia boleh menebus dirinya dengan antara lain mengembalikan sebagian maskawin atau pemberian suami (ini disebut ‘iwadh = uang/harta pembayaran dari istri untuk bercerai). Alasan istri minta cerai mungkin karena dia tidak senang karena suaminya jelek, atau memiliki banyak kekurangan.
Jadi, kalau suami minta cerai, dilarang meminta kembali apa yang sudah diberikan lepada istri.
Kalau istri minta cerai, istri minimal harus mengembalikan maskawinnya.
QS 2 : 231; Kalau sudah menceraikan istri dan hampir/mendekati habis masa iddahnya (artinya, belum masuk masa iddah) boleh dirujuki (bukan ditahan, karena bisa dipersepsikan ‘dipenjara’) atau cerai dengan baik-baik. Dilarang menceraikan lalu merujuki istri dengan maksud berbuat zalim/aniaya/memberi kemudharatan, misalnya dengan memaksa mereka minta cerai dengan jalan khulu’ atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung. Kalau menyakiti istri semacam ini maka berarti suami telah menszalimi diri sendiri
Ayat-ayat Allah = Hukum-hukum Allah. Nikmat Allah: 1. Diberi seorang istri/istri-istri. 2. Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah). As Sunnah Rasul Muhammad s.a.w.
QS 2 : 232; Kalau sudah habis masa iddahnya, istri tidak boleh dihalangi untuk menikah lagi dengan calon suami (mantan suami atau laki-laki lain). Janda berhak dan bebas memilih calon suaminya. Kalau si janda sudah cocok (“taradau” - se-agama/iman dan saling mencintai) mereka harus dinikahkan dan didukung pernikahannya. Itulah aturan Allah yang lebih baik dan lebih suci. Oleh karenanya harus diikuti.
QS 2 : 234; Masa iddah wanita yang suaminya meninggal 4 bulan 10 hari. Setelah habis masa iddah, mereka bebas tak boleh dihalangi keluar rumah dan memilih calon suaminya.
QS 2 : 151; Nikmat Allah: Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah). As Sunnah Rasul Muhammad s.a.w.
QS 65 : 2; Mendekati akhir iddahnya = Hampir habis masa iddahnya
QS 4 : 19; Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik), walaupun istri memiliki kekurangan. Kekurangan istri harus disikapi dengan sabar. Allah menetapkan bahwa kekurangan yang sedikit sesungguhnya mengandung kebaikan yang lebih banyak (Ungkapan Jawa: Elek-elek tapi rejekeni = jelek-jelek tapi mendatangkan rejeki)
QS 5 : 2; Terjemahan ta’tadū yang benar = melampaui batas
QS 62 : 2; Nikmat Allah: Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah). As Sunnah Rasul Muhammad s.a.w. Tentang masalah perceraian (misalnya; masa iddah, menikah, rujuk, saksi-saksi nikah dsb) harus mengikut aturan/pengajaran Allah.
QS 3 : 164; Nikmat Allah: Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah). As Sunnah Rasul Muhammad s.a.w.
Kutipan ayat Al Qur’an yang menegaskan firman Allah tentang Perihal Perceraian (Bagian 3)
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya 141) diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ~ QS (2) Al Baqarah : 226 ~

141) Meng-ilaa’” istri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini, maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kafarrat sumpah atau menceraikannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ~ QS (2) Al Baqarah : 227 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru 142). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya 143). Dan  Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ~ QS (2) Al Baqarah : 228 ~

142) Quru‘ dapat diartikan suci atau haid
143) Hal ini disebabkan karena suami bertanggung-jawa terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangg (lihat Surat 4 An Nisaa’ ayat 34)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
 “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka 145). Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi perngajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ~ QS (2) Al Baqarah : 231 ~

145) Umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan jalan khulu’ atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Apabila kamu mentalaq istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya 146), apabila terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” ~ QS (2) Al Baqarah : 232 ~

146) Kawin lagi dengan bekas suaminya atau dengan laki-laki lain
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka 147) menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” ~ QS (2) Al Baqarah : 234 ~

147) Berhias, atau berpergian atau menerima pinangan
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” ~ QS (2) Al Baqarah : 151 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” ~ QS (65) Ath Thalaaq : 2 ~
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa 278) dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata 279). Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” ~ QS (4) An Nisaa’ : 19 ~

278) Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak tidak dibolehkan kawin lagi.
279) Maksudnya berzinah atau membangkang perintah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“…… Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka) ……” ~ QS (5) Al Maa-idah : 2 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dia-kah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” ~ QS (62) Al Jumu’ah : 2 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan susungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” ~ QS (3) Ali Imran : 164 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Disarikan oleh H. R. Mimuk Bambang Irawan - Jakasampurna, Bekasi, 16-17 Oktober 2017
Seri Kajian Tentang Perceraian:
PERIHAL PERCERAIAN (Bagian 3)

No comments:

Post a Comment