Tuesday, July 30, 2013

TANDA DAN KAPAN TERJADINYA LALAITUL QADAR


“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar ~ QS 97 - Al-Qadr : 1-5 ~.

Lailatul qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai maksud malam tersebut. Pertama, lailatul qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, lailatul qadar adalah waktu ditetapkannya takdir tahunan. Kedua makna ini adalah maksud dari lailatul qadar.

Lailatul qadar adalah waktu penetapan takdir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhon: 4).

Qotadah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.”  (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169).

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah semangat dan bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh hari tersebut. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 53.

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017).

Kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat Fathul Bari, 4: 262-266 dan Syarh Shahih Muslim, 6: 40).

Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)

Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan (lihat Fathul Bari, 4: 266).

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata,

وَقَدْ وَرَدَ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَامَاتٌ أَكْثَرُهَا لَا تَظْهَرُ إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَمْضِي

“Ada beberapa dalil yang membicarakan tanda-tanda lailatul qadar, namun itu semua tidaklah nampak kecuali setelah malam tersebut berlalu.” (Fathul Bari, 4: 260).

Di antara yang menjadi dalil perkataan beliau di atas adalah hadits dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru.” (HR. Muslim no. 762).

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18: 361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.)

Jika demikian, maka tidak perlu mencari-cari tanda lailatul qadar karena kebanyakan tanda yang ada muncul setelah malam itu terjadi. Yang mesti dilakukan adalah memperbanyak ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, niscaya akan mendapati malam penuh kemuliaan tersebut.

Jangan Memilih Malam Ganjil, Malam Lailatul Qadar Bisa Jadi di Malam Genap

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sepantasnya bagi seorang muslim untuk mencari malam lailatul qadar di seluruh sepuluh hari terakhir. Karena keseluruhan malam sepuluh hari terakhir bisa teranggap ganjil jika yang dijadikan standar perhitungan adalah dari awal dan akhir bulan Ramadhan. Jika dihitung dari awal bulan Ramadhan, malam ke-21, 23 atau malam ganjil lainnya, maka sebagaimana yang kita hitung. Jika dihitung dari Ramadhan yang tersisa, maka bisa jadi malam genap itulah yang dikatakan ganjil. Dalam hadits datang dengan lafazh,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bisa jadi lailatul qadar ada pada sembilan hari yang tersisa, bisa jadi ada pada tujuh hari yang tersisa, bisa jadi pula pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021).

Jika bulan Ramadhan 30 hari, maka kalau menghitung sembilan malam yang tersisa, maka dimulai dari malam ke-22. Jika tujuh malam yang tersisa, maka malam lailatul qadar terjadi pada malam ke-24. Sedangkan lima malam yang tersisa, berarti lailatul qadar pada malam ke-26, dan seterusnya (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25: 285).

Semoga Allah memudahkan kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan dan moga kita termasuk di antara hamba yang mendapat malam yang penuh kemuliaan.

Referensi:
  • Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1433 H.
  • Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
  • Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibnil Jauzi.
  • Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1432 H.
  • Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.

Disusun di siang hari, 19 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta


Artikel Muslim.Or.Id

Dari artikel 'Kajian Ramadhan 17: Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi? — Muslim.Or.Id
'

Monday, July 29, 2013

MERAYAKAN IDUL FITRI


Bagaimana kita merayakan Lebaran secara benar? Ada 4 kegiatan yang membuat ibadah kita tuntas dan afdol di bulan suci ini.

Pertama: membayar zakat fitrah. Yang ini jangan ditunda, makin cepat makin baik. Jumlah zakat yang ditentukan oleh Bazis -3,5 liter beras- adalah jumlah yang minimal. Dianjurkan untuk membayar lebih dalam bentuk sembako sesuai dengan kemampuan setiap ummat.

Kedua: mengumandangkan takbir. Kita harus bertakbir mengumandangkan asma Allah Yang Maha Besar mulai dari waktu isya sampai kita mau shalat Ied. Tak perlu dengan memukul bedug atau drum dengan bertalu-talu. Bertakbir bisa kita lakukan di masjid dengan melantunkannya dengan indah dan penuh khidmat.

Ketiga: melaksanakan shalat Ied. Diawali dengan niat dan persiapan yang matang. Dianjurkan memakai baju yang paling bagus yang kita miliki, tak perlu baju baru, serta menggunakan wangi-wangian sebagai ungkapan rasa gembira atas kemenangan yang telah diraih.

Keempat: bersilaturahim. Dengan bersilaturahim kita merekat kembali hubungan-hubungan dengan sanak saudara dan handai taulan yang renggang di waktu yang lalu sambil mendoakan “Semoga kamu dan saya diberikan ampunan atas segala dosa yang telah kita lakukan”. Dalam bersilaturahim dengan orang tua di jaman krismon begini, tak perlu kita memaksakan diri untuk berjumpa secara fisik. Bersilaturahim dapat dilakukan dengan surat, telegram atau telepon.


Itulah pesan yang disampaikan oleh Drs. KH. Efendy Zarkasyi dalam ceramahnya di depan jemaah tarawih dari hotel ke hotel berjudul Hakekat Idul Fitri, di Hotel Hyatt Aryaduta tanggal 15 Januari 1999 yang lalu. 

Sunday, July 28, 2013

PANDUAN I’TIKAF RAMADHAN

Panduan I'tikaf Ramadhan


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS 2 - .Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif:
(1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan
(2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al

Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

1.    Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2.    Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

1.    Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2.    Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
3.    Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4.    Mandi dan berwudhu di masjid.
5.    Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]



1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

MASJID AT-TA’AWUN PUNCAK BOGOR


Jalur puncak Bogor memang memiliki pemandangan yang begitu menawan. Tak terkecuali jika dinikmati dari bangunan – yang ada di kawasan menjelang Puncak Pass – Masjid At-Ta’awun. Ya, inilah rumah ibadah yang begitu tampak cantik dan penuh pesona ditengah kebun teh di jalur Puncak. Berdiri di atas ketinggian 1400 meter diatas permukaan laut, masjid ini selalu ramai disambangi para ‘musafir’ baik dari arah Bandung maupun dari arah Bogor/Jakarta. Masjid dua lantai ini sepertinya tak sekedar untuk ibadah shalat ketika masuk waktu. Masjid ini pula kerap dijadikan meeting point bagi para traveler/wisatawan. Selain dilengkapi dengan fasilitas ibadah yang lengkap, kompleks masjid ini lengkap dengan fasilitas parkir, plus taman yang begitu indah disamping view yang begitu menakjubkan.

Untuk memasuki kawasan masjid sendiri harus menaiki anak tangga yang lumayan tinggi dari lokasi parkiran –yang dilengkapi jejeran warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman. Dan yang tak ketinggalan adalah para penjaja barang-barang cinderamata. Karena lokasinya di atas ketinggian, tentunya masjid ini tak memerlukan alat pendingin, meski di siang hari, hawa sejuk serta semilir angin memberi kesejukan tersendiri. Dan wajar, bila air yang ada disana begitu dingin. Ini tentunya akan memberi kesegaran sendiri ketika Anda berwudlu atau sekedar membasuh muka.

Masjid dua lantai ini beralaskan ubin kayu warna coklat, kira-kira dua hingga tiga shaff (baris) terhampar karpet warna hijau. Lantai satu dipergunakan untuk jamaah pria, sementara jamaah wanita ditempatkan di lantai dua.

Bagi Anda yang tengah melintas kawasan puncak, ketika masuk waktu shalat tak ada salahnya mampir sekaligus istirahat dan menikmati alam ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala yang begitu indah dan memesona, ditemani semilir angin yang sejuk. 

Masjid yang dibangun tahun 1997 dan kini dikelola oleh Yayasan Dharma Bhakti ini bisa ditempuh sekitar 30 menit keluar pintu tol Jagorawi menuju Cipanas, dimana posisi tepatnya letak masjid berada sekitar 2 km sebelum Puncak Pass jika dari arah Jakarta/Bogor. Bahkan dari kejauhan masjid –yang pembangunannya diprakarsai  dan diresmikan pada 25 Maret 1999 oleh R Nuriana, Gubernur Jawa Barat saat  itu– sudah tampak terlihat kemegahannya. Arsitektur kubah masjid ini terlihat menyerupai jamur.

Dari sharing status FB sahabatku Asrul Agin

Foto-Foto Masjid At-Ta’awun, Puncak, Bogor